: Teruntuk perempuan yang gemar melupa,

Bukan kali pertama kau dapati surat dariku, bukan? Kuharap kau masih ingat beberapa surat atau celotehan singkat yang kutunjukkan untukmu. Perihal kecemasanku atas cemas-cemasmu yang kian ganas.

Jika saja bisa, ingin sekali kudekap dirimu erat-erat hingga rasa cemasmu menghilang dan kau mampu tertidur pulas. Tapi kau selalu menolakku dengan berkata, “tidak, aku baik-baik saja, atau “tidak, aku masih kuat,” atau kata-kata penguatan lainnya yang terdengar sangat hebat. Bravo! Kau memang perempuan hebat, tapi percayalah sayang, kau bukanlah perempuan yang selamanya mampu kuat.

Aku paham benar, perihal kau yang tak pernah lelah mencoba memperbaiki dirimu yang serba kurang. Kau bukan perempuan yang memiliki segala, dengan prestasi yang tak lagi ada,  gelimang harta yang tak mampu kauhasilkan, dan juga fisik yang bisa dibilang sangat biasa. Tapi percayalah, sayang. Kau memiliki hati yang luar biasa. Hati yang tak banyak orang-orang mampu memilikinya.

Kau perempuan yang begitu tabah, meski dalam pengabaian. Kau perempuan yang tak mengenal kata lelah, untuk perihal mencinta dan kesetiaan. Kau perempuan paling pandai, untuk perihal menjaga dan merawat apapun yang menurutmu berharga.

Untuk segala hal yang kubanggakan untukmu, tahukah sayang,  yang paling berharga untuk kau jaga, rawat dan untuk kau cinta? Ialah dirimu yang seringnya kau abaikan.

Menangislah, jika memang itu menyakitkan.

Marahlah, jika memang itu yang kau rasa.

Akuilah, jika memang luka itu ada.

Cobalah untuk sedikit saja melunak pada luka. Kau yang pelupa, kerap menganggap luka yang menganga ialah biasa.  Kau yang pelupa, menanak cemas di tiap malam, jutaan kata “aku akan baik-baik saja” menjajah isi kepala, hingga pagi tiba dan kau kembali (berpura-pura) lupa. Sayang, bukankah kau berhak bahagia?

Apa yang sebenarnya kau butuhkan?

Hanya ada cemas yang tak berkesudahan, perihal apa-apa saja yang tak kau inginkan, atau perihal ingin yang hanya menjadi mimpimu semata. Aku ingin sekali melihatmu bahagia. Setulusnya tertawa, bukan hanya untuk melupa luka. Setulusnya tersenyum gembira, bukan hanya untuk menutupi  hujan yang berkepanjangan. Setulusnya berbahagia, tanpa alasan yang kau buat-buat. Setulusnya berbahagia, setulus kau mencintai dengan keikhlasan.

Bukankah seharusnya kemarin menjadi hari yang berbahagia? Mengapa kulihat hujan begitu deras memeluk sajadahmu? Apa yang kau cemaskan kali ini? Tenangkan dirimu. Aku benci mengatakan ini, namun terkadang kau benar untuk beberapa hal; perihal segalanya akan baik-baik saja, sebab segalanya akan tepat menurut perhitunganNya, perihal cinta yang baik, ialah cinta yang kau dekap dalam balutan doa, perihal ketabahan ialah salah satu cara kau mencintaiNya.

Harusnya surat ini kutuliskan dan kukirimkan kemarin. Maaf, aku terlalu sibuk untuk orang-orang yang begitu sibuk membahagiakanku, dan kau, kuabaikan untuk kesekian kalinya. Kebahagiaanmu, ialah apa yang kerap kupikirkan; meski kau begitu sibuk memikirkan kebahagiaan orang lain, meski  kerap kuabaikan, namun namamu, ialah yang tak lepas kurapalkan dalam doa.

Wahai perempuan yang gemar melupa,

Aku begitu percaya perihal kelak yang kerap dirajut melalui doa. Kelak, kau akan menarikan duka sebagai perhiasan berbahagia. Kelak, kau akan seutuhnya dicintai tanpa jeda dan jarak. Kelak, tawamu ialah jawaban dari segala doa yang tak lelah kaurapalkan. Kelak, kau akan melupa caranya melupa; sebab ingatan ialah satu-satunya rumah terbaik untuk pulang.

Berbahagialah, meski selamanya tak pernah ada. Jika lelah, kau tahu Ia adalah sebaik-baiknya untukmu berserah. Cintai aku seutuhnya, sebab kau tahu, kau pantas berbahagia.

Aamiin yaa Rabbal’alamin.

 

 

Tertanda,

Dirimu yang lupa kaucintai.