Tags

Ada yang lebih sulit daripada membuat orang jatuh cinta; ialah membunuh cinta itu sendiri ketika hati telah jatuh dalam keikhlasan. Selayaknya cinta, ia tak kan mampu kau paksakan tiba, jika langkahnya telah mati muda; ia pun tak kan mampu tiada, jika bersama ialah satu-satunya tujuan.

“Mbak Nad, Mas Lio belom dateng juga?” Tanya Tara sambil membereskan lensa-lensa yang ia gunakan tadi.

Aku semakin cemas melihat jam di tanganku. Waktu sudah semakin siang, matahari pukul sembilan pagi pun sudah hampir usai. Namun Lio belum juga bisa dihubungi. “Belom, Tar. Aku coba hubungi lagi deh.” Kataku sambil melakukan panggilan ke nomor Lio.

“Maaf, nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi beberapa saat lagi.”

Keputuskan sambungan teleponnya, dan menghela napas kesal.

Lio, kamu di mana? Kumohon, datanglah hari ini. Aku tak mengerti hubunganmu dengan Clay seburuk apa, tapi bisakah kau tak egois dan memikirkan juga kehidupan Clay jika semua ini gagal hanya karena rasa marahmu kepadaku?

Kualihkan pandanganku ke arah Clay yang sedang terduduk diam, menatap kosong. Entah apa yang ada di kepalanya sekarang, tapi aku benar-benar merasa iba dengannya saat ini.

Kau tak seberuntung itu. Benar kan, Clay?

“Nad!” Panggil Lidia yang berada di dekat Clay.

“Ya?” kataku sambil menatapnya dari jauh. Lidia tak bicara, hanya menunjuk menggunakan matanya ke arah jam 9 dari posisiku berdiri. Kualihkan pandanganku mencari tahu apa yang Lidia tunjukkan. Akhirnya kamu datang Lio, ucapku dalam hati. Kulihat Lio dari jauh berjalan tertunduk menuju ke arah lokasi pemotretan kami, bersama…

“Nak Clay sayang, apa kabar?”

Aku cukup terkejut ketika perempuan separuh baya dengan mengenakan kemeja satin putih berhias mutiara di daerah kerahnya, lengkap dengan tas –yang terlihat, tentu saja, mewah- berwarna hijau di tangan kirinya, dan kipas yang dipegangnya di tangan kanannya, terlihat dari arah belakang Lio. Ia berjalan lebih cepat daripada Lio dan segera menuju ke arah Clay. Maminya Lio… ikut? Tanyaku dalam hati.

Ketika Clay melihat siapa yang menghampirinya, ia langsung tersenyum dan beranjak berdiri. “Mami, Apa kabar?” ucap Clay, sambil memeluk dan kemudian mereka saling beradu pipi kiri dan kanan. Tak lama Lio datang, dan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan mereka sebelumnya. Kepalaku langsung tertunduk dan berpura-pura sibuk melihat catatan di tanganku. Entah apa yang mereka bicarakan, aku memilih mencari kesibukan dan mengalihkan perhatianku dari keakraban di antara mereka, dengan memastikan kembali apa-apa saja yang akan dilakukan tim fotografer setelah ini.

“Nad?”

“Eh, Lid? Kenapa?” Kataku sambil membalikan badan ke arahnya.

“Hmm, gak apa-apa. Si Lio udah dateng tuh.” Katanya sambil menunjuk menggunakan matanya.

Aku melihat ke arah mereka kembali, dan langsung mengalihkan pandanganku kembali ketika mendapati Lio sedang menatap kami berdua dari arah sana. “Tahu kok gue.” Kataku singkat.

“Tahu juga kalo si Lio dari tadi ngeliatin lo dari sono?”

“Hah?” Kataku sedikit terkejut menatap Lidia, dan melihat ke arah Lio lagi. Lio masih menatap ke arah kami. “Eh iya, Lid. Lo suruh si Lio ganti baju gih, biar efektif waktunya. Kita langsung ke sesi pemotretan dia sendiri dulu aja kali ya, baru nanti kita lanjut ke sesi foto mereka berdua.” Kataku mengalihkan. Lidia tertegun sambil menunjuk ke arah dirinya tanpa bersuara. “Iya, elo.” Kataku meyakinkan ucapanku kembali. “Kalo gue yang ngomong, takutnya dia malah makin bete dan gak mau pemotretan” bisikku ke telinga Lidia. Kulirik lagi ke arah Lio yang masih menatap ke arah kami, “please?” Pintaku dengan suara yang masih berbisik.

Lidia menghembuskan napas kesal, “siap bos!” jawabnya sambil berlalu dan menuju ke arah Lio. Aku hanya memperhatikan dari kejauhan ketika Lidia berbicara dengan Lio. Sesekali ia melihat ke arahku tanpa ekspresi, dan kemudian ia menuju ke ruang ganti yang ditunjuk oleh Lidia. Setelah memastikan Lio masuk ke ruang ganti, Lidia kembali ke pekerjaannya, memastikan tim wardrobe dan make up artist melakukan pekerjaan sesuai dengan rencana yang kami atur sebelumnya.

“Mbak Nad?” Sapa seorang perempuan dari arah sampingku.

Kualihkan pandanganku dan mendapati Mbak Listia sudah berada di sampingku bersama asistennya, dengan membawa tas dan koper make up di tangan mereka masing-masing. “Eh iya, Mbak Lis?”

“Kami mohon pamit dulu nggih? Grace juga kayanya ndak mau kami bantu dan kayanya merasa terganggu sama kami. Jadi, mending kami pamit pulang aja ya, mbak?”

“Hmm, mbak Lis?

“Iya?”

“Sebelumnya saya minta maaf ya? Karena harus seperti ini. Saya benar-benar tidak tahu, kalau manajemen Clay membawa make up artist sendiri, sampai mereka datang tadi pagi ini.” Kataku dengan nada yang sangat menyesal dan menggenggam tangannya yang menggenggam koper make up.

“Sudah, mbak Nad. Ndak apa-apa. Wong masalah seperti ini biasa terjadi kok. Ojo ngerasa ndak enak seperti itu.” Ucapnya dengan logat yang masih kental Jawa dan tersenyum tulus kepadaku. “Kan yang penting kami dibayar, kalo ndak dibayar, baru kami marah. Wong ini dibayar kok, ojo sungkan gitu, mbak’e.” Hiburnya kemudian sambil tertawa kecil.

Aku tersenyum lega, “ya udah. Sisa pembayaran, nanti malam setelah pemotretan langsung saya transfer ya, mbak?” kataku kemudian.

“Sip, mbak. Yowis, kami pulang dulu nggih.”

“Hati-hati ya, mbak. Makasi ya bantuannya hari ini.”

“Nggih, mbak. Mari, mbak.” Ucapnya sambil menundukkan kepala dan berlalu pergi.

Kuhela napasku sambil melihat mereka pergi, hingga mataku menangkap Lio yang sudah keluar dari ruang ganti dengan menggunakan kemeja putih yang dipadankan dengan swallow-tailed coat sewarna dengan waistcoat berwarna beidge yang melingkari tubuhnya, lengkap dengan dasi berwarna senada yang belum dipakainya. Napasku kembali tertahan.

Lio menuju ke arah Clay dan maminya yang masih asik berbincang di tenda make up artist, tak lama Clay beranjak berdiri dan merapikan dasi milik Lio. Lio yang tadinya enggan, terlihat terpaksa dipakaikan dasinya oleh Clay ketika maminya sedikit mengomel. Melihat hal itu, napasku masih saja tertahan.

“Woy!”

Aku langsung terkejut mendapati Lidia menepuk pundakku dari arah belakang, “ah lo mah Lid, ngagetin gue aja.”

“Ngeliatin siapa sih?” Lidia dengan sigap langsung mencari tahu dari arah mataku yang masih mencoba mengalihkan pandanganku sebelumnya. “Lio?” bisiknya.

Aku yang terlanjur kepergok langsung salah tingkah dan membereskan properti pemotretan yang sebelumnya sudah tertata rapi, “hah? Eh, mm, enggak kok.” Kataku mengelak sambil mengedipkan mataku berkali-kali dan membuang pandanganku.

“Ya elah, Nad. Sama gue aja, lo pake acara boong.” Ucapnya sambil menaruh kedua tangannya di atas pinggulnya. “Eh iya, Nad. Si Lio udah beres tuh, dia gak mau di-make up katanya. Jadi gue suruh anak-anak fotografer buat siap-siap aja kali ya?”

“Eh, itu mah gue aja yang urus. Lo ke Lio aja gih, bilang dia buat siap-siap buat pemotretan sekarang. Jangan lupa kasih tahu dia, konsep pemotretannya.”

Lidia merapatkan giginya dan menurunkan bibirnya ke bawah, sambil menghembuskan napasnya dengan cukup kencang. “Oke deh, bu bos.” Ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya dan menuju ke arah Lio.

“Tar! Siap-siap buat sesi pemotretan Lio ya.” Kataku dengan sedikit berteriak ke arah Tara yang sedang asik mengobrol dengan timnya. Tara yang mendengar itu, langsung mengacungkan jempolnya ke atas dan kemudian beranjak bersama timnya dengan kamera dan lighting di tangan mereka menuju lokasi kedua, yang berada tak jauh dari tenda-tenda kami. Kulihat lagi ke arah Lio yang sedang sepertinya sudah mendapatkan pengarahan dari Lidia. Kualihkan pandanganku ke arah Lidia, ketika mendapati mataku dan mata Lio tanpa sengaja bertemu. “Lid, udah? Yuk ke lokasi kedua, udah ditunggu sama timnya Tara di sana.” Kataku dari kejauhan.

“Beres!” jawab Lidia singkat sambil mengangkat jempol ke udara dan kemudian mengajak Lio bersamanya ke lokasi kedua. Melihat hal itu, langsung saja kuberanjak pergi menyusul Tara dan timnya yang sudah berjalan terlebih dahulu, sambil menyibukan diri melihat catatan di tanganku ini –yang sudah belasan kali kulihat serta sudah kuhapal di luar kepala.

Saat sesi pemotretan Lio, aku seperti gadis kecil penakut yang berada di Chocolate Factory milik Willy Wonka. Betapa ingin sekali kucicipi coklat-coklat yang berada di dalam pabrik tersebut, namun ketakutanku atas Willy Wonka begitu besar. Hingga hanya membuatku terdiam meski aku begitu terpesona dan menginginkan coklat-coklat tersebut.

Sesekali Lio melihat ke arahku, dan kemudian mulai gugup melakukan pose yang dipinta oleh Tara. Dan bukan hanya sekali, aku merasakan hal yang sama, ketika tak sengaja –atau katakanlah, kesengajaan– mata kami bertemu. Jaga matamu, Nadia! Kataku dalam hati berkali-kali.

“Woy! Biasa aja kali ngeliatnya.” Suara Lidia serta senggolan pundaknya dari arah samping, membuatku sedikit terkejut. Dia yang melihat reaksiku, langsung tertawa kecil.

“Sial! Berisik lo, ah!” kataku setengah berbisik sambil mendorong kembali pundaknya dengan pundakku. “Udah, ah. Gue mau ke Clay aja, mau nyuruh dia siap-siap dia ganti baju, buat sesi pemotretan mereka berdua.”

“Lah, itu kan tugas gue?” Lidia melebarkan kedua mata dan alisnya, dengan mulut setengah terbuka.

“Ck, ah elah Lid. Masa musti gue jelasin lagi sih?” Kataku sambil menghela napas cepat. “Lo urus bagian Lio, gue bagian Clay. Okay?” kataku dengan sedikit berbisik.

Lidia langsung mengerucutkan bibirnya ke depan dengan tatapan mengintimidasi, “Okay.” Jawabnya dengan nada malas. Aku yang sekarang tertawa kecil melihat reaksinya, dan mulai beranjak pergi.

Beberapa belas menit kemudian, akhirnya aku membawa Clay ke lokasi pemotretan kedua, tentu saja bersama maminya Lio beserta asisten pribadi Clay di belakang kami. Tak ada pembicaraan yang terjadi di antara aku dan maminya Lio. Ia hanya menatapku dengan tatap dingin, serupa sekali dengan tatapan milik Lio.

“Tar, udah beres kan sesinya Lio?” kataku saat melihat Tara sedang duduk santai melihat foto-foto di kameranya.

“Eh, mbak Nad. Iya, udah mbak. Kita langsung ke sesi berikutnya aja kali ya? Mumpung mataharinya belum tinggi-tinggi banget.”

“Oke, siap. Ini Clay juga udah siap kok.”

“Oh, oke mbak.” Ucap Tara singkat sambil beranjak berdiri, “Mas Lio!” Panggil Tara dari kejauhan. Lio yang sedang fokus melihat telepon selularnya melihat ke arah Tara sambil mengangkat kepalanya. “Kita lanjut ke sesi pemotretan berikutnya ya?”

Dahi Lio mulai mengerut dengan disertai tatapan curiga, “sesi berikutnya?”

“Loh, mbak Lidia belom kasih tahu konsep pemotretan ini ke mas Lio ya?” Tanyanya entah kepadaku atau kepada Lio, sebab ia melihat ke arah kami berdua. Aku hanya tertawa sekadarnya dan menggeleng, dan Lio pun hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya. “Oke, bentar mas. Saya ke sana sekarang deh jelasin. Sebentar-sebentar.” Ucapnya cepat sambil membawa  kameranya. Tara beranjak pergi menuju Lio yang sedang duduk di kursi properti berwarna putih yang sebelumnya kami persiapkan untuk keperluan pemotretan.

“Gimana sih kamu kerja. Masa konsep aja sampe belum dikasih tahu ke Lio sih?”

Mendengar hal itu dari belakangku, seketika saja membuatku berbalik dan menunduk ketika mengetahui pemilik suara itu. “Saya, minta maaf tante.”

“Nadia kan dari tadi sibuk, mi. Udahlah, gak usah dipermasalahin ya?” Ucap Clay sigap sambil menggenggam kedua tangan maminya Lio.

Maminya Lio yang tadinya menyilangkan kedua tangan di dadanya langsung tersenyum dan mencubit hidungnya Clay, “kamu ini ya. Emang paling pinter ngebuat amarah mami reda.”

“Hahaha, mami.” Ucap Clay sambil memeluk maminya Lio dengan manjanya.

“Thank you.” Ucapku kepada Clay tanpa suara, Clay hanya tersenyum dan mengangguk.

“Mbak Nad!” Panggil Tara tiba-tiba. Aku langsung berbalik melihat ke arahnya, “kita mulai sesi berikutnya, yuk?” Ajaknya kemudian.

“Oh, okay. Clay, yuk?” Ajakku sambil meminta tangannya mengikutiku.

Clay langsung melepaskan pelukannya dan menggenggam tanganku kemudian. Matahari pukul sepuluh yang berebut jatuh di antara dahan dan batang pohon pinus menyentuh lembut kulit Clay, ditambah gaun putih yang dikenakannya, Clay benar-benar terlihat cantik dan bersinar. Clay serupa tuan putri dan aku serupa dayang yang membantunya berjalan menyusuri jalan, menuju Lio –sang pangeran– yang berada diposisinya berdiri, menanti sang putri. Sang dayang yang jatuh cinta kepada pangeran, hanya mampu tersenyum dalam tunduknya dan menyerahkan tangan gemulai sang putri kepada sang pangeran, pada akhirnya; membiarkan bahagia menyertai keduanya.

“Kamu lupa pakai ini.” Clay dengan lembutnya memasangkan setangkai bunga mawar putih di kantung depan jas yang Lio kenakan, sambil tersenyum manis kepada Lio. Lio hanya melihatnya tanpa ekspresi.

“Okay. Kita mulai sekarang ya.” Komando Tara dari kejauhan.

Kuputuskan untuk berjalan menjauh agar pemotretan dapat dimulai. Dari kejauhan kulihat Clay dan Lio terlihat sangat canggung dan malu-malu.

“Mbak Clay, bisa tolong taruh kedua tangannya melingkar di bahunya mas Lio, gak? Dan Mas Lio, tolong dieratkan pelukannya ya? Buat seakan-akan mas Lio mendorong tubuh mbak Clay ke atas dan seakan-akan Mas Lio tuh gak mau gitu ngelepasin mbak Clay-nya.” Pinta Tara kepada keduanya.

Lio menghela napasnya dengan sangat berat. Kemudian, Clay dengan malu-malu melingkarkan kedua tangannya di atas bahu Lio, seketika saja Lio melangkah mundur. Clay langsung mengeratkan kedua tangannya di antara kepala Lio, dan membisikkan Lio sesuatu. Lio langsung tertunduk. Tak lama kemudian ia dengan lembut menarik tubuh Clay dan mendorongnya ke atas, merapatkan tubuh Clay ke tubuhnya. Begitu rapat, hingga tak kulihat cela di antara keduanya; hingga kurasa jantungku berdetak lebih cepat dan menahan napasku sesaat.

“Nah, cakep! Tahan ya.” Ucap Tara cepat sambil membidik kameranya ke arah mereka, yang diikuti bidikan kamera oleh beberapa fotografer dari arah lainnya.

Bukankah seharusnya yang datang kepadamu, yang digenggam jemarinya olehmu, yang berada di pelukmuseperti itu adalah aku, Lio?

“Kamu lihat kan? Kalau mereka terlihat serasi sekali?” Tiba-tiba saja suara maminya Lio mengangetkanku, seketika tatapanku yang tadinya hanya mengarah kepada Lio dan Clay, langsung tertuju kepada pemilik suara itu. Perempuan separuh baya itu yang tadinya melihat ke arah yang sama denganku, langsung merngarahkan tatapannya ke arahku dan tersenyum, “tante harap, kamu tidak lupa dengan janjimu dulu.” Ucapnya sambil menepuk lembut pundakku dan berlalu pergi.

Ingatanku langsung melayang kepada pertemuan kami sebelum ini. Ketika suatu siang, aku hendak berjalan menuju kafe dekat kantorku untuk makan siang, dua orang laki-laki besar lengkap dengan black suit dan kacamata hitam menghentikan langkahku. Mereka memintaku untuk menemui seseorang di dalam sedan mewah berwarna putih; yang ternyata adalah maminya Lio.

“Dokter bilang, papinya Lio tak kan bertahan hidup selama setahun,” ucap maminya Lio sambil memandang ke arah keluar jendela. Aku benar-benar terkejut saat itu, dan hanya merapatkan kedua bibirku mendengarkan apa yang selanjutnya dibicarakan olehnya. “Permintaan papinya cuma satu, sebelum papinya dipanggil sama Tuhan; papi ingin melihat Lio menikah.” Lanjutnya lagi kemudian.

Ah, Lio. Ngapain kamu gak bilang sendiri sih kalau mau menikah denganku? Aku kan malu, sampai mami kamu yang harus ke aku gini, pikirku saat itu. Bisa kurasakan pipiku cukup memerah hingga membuatku tersipu malu.

Kemudian maminya Lio mengarahkan tubuh dan wajahnya ke arahku, “tante tahu, kamu dan Lio sudah dekat, bukan?” Ucapnya sambil membelai poniku dengan lembut, aku hanya mengangguk pelan. “Tante minta maaf sebelumnya, tapi…” potongnya sambilnya menghela napasnya dengan berat, “tante sudah memilihkan pasangan untuk Lio, dan itu bukan kamu.”Ucapnya sambil menggenggam tanganku erat. “Sebelum hari ini, Lio sudah kami kenalkan dengan calon pilihan kami. Awalnya Lio memang menolak, tanpa alasan yang jelas. Lio memang tidak cerita tentang hubungan kalian, dan tante juga tidak tahu, kenapa akhirnya Lio menyetujui perjodohan ini.”

Apa? Lio menyetujui perjodohan ini?

                Maminya Lio mengelus lembut tanganku, ketika merasakan tanganku semakin erat kugenggam. “Pertunangan mereka harusnya dilakukan minggu ini, namun Lio masih saja enggan diajak bicara masalah tanggal pertunangan. Akhirnya tante mencari tahu alasan-alasan Lio yang selama ini tante pertanyakan. Dari alasan dia menolak perjodohan ini, sampai akhirnya alasan dia sulit diajak bicara mengenai tanggal pertunangan, padahal sudah menyetujui perjodohan ini; dan semua itu bermuara karena hubungan kalian.” Ia menghela napasnya dengan berat sambil memalingkan wajahnya.

Seketika saja dadaku terasa sesak sekali, air mataku rasanya ingin berebut keluar, namun kutahan dengan mengangkat kepalaku ke atas. Mataku berlari-larian di langit-langit mobil, kata-kataku seperti patah langkah. Aku benar-benar tak tahu harus bicara apa.

“Tante mohon, kalau nak Nadia benar-benar mencintai Lio,” ia menarik napasnya, “tinggalkan Lio. Tante tahu, hubungan kalian sudah buruk. Kalau hubungan kalian selesai, tante yakin, Lio bisa mengambil sikap untuk keputusan penting di depannya. Lio harus segera menikah, nak. Sebelum papinya…” kalimatnya terputus ketika air matanya mulai terjatuh. Kepalaku langsung tertunduk, air mataku sudah tak sanggup lagi kubendung. Isakku berdiam diri, dan diam-diam menghancurkan isi dadaku sendiri. “Berjanjilah, tinggalkan Lio.” Pintanya kemudian. “Demi papinya Lio, demi kebahagiaan Lio.” Ucapnya lagi sambil mengenggam erat kedua tanganku yang sudah dibasahi oleh air mataku.

Bagaimana bisa hal ini demi kebahagiaan Lio? Lalu bagaimana dengan kebahagiaanku?

Aku mengatur napasku kemudian dan menatapnya, “Lidia berjanji akan meninggalkan Lio, tante; kalau memang itu satu-satunya cara mencintai Lio.” Ucapku kemudian.

Perempuan separuh baya itu langsung menarikku ke dalam pelukannya, “terima kasih. Terima kasih ya, nak.”

Setelah itu, akhirnya aku memutuskan untuk pamit pergi dan keluar dari mobilnya. Tak lama setelah mobil itu berlalu dari pandanganku, aku langsung mengambil telepon selularku dan mengirimkan pesan singkat kepada Lio.

Bisa kita ketemu? La Bridge Coffee Shop di Little Tokyo, jam 4. Aku tunggu ya. Kita harus bicara.

..

“Gue daritadi udah ngikutin mau lo ya, Tar. Disuruh pegangan tangan, gue ikutin. Disuruh meluk dan lebih mesra lagi, gue ikutin. Sekarang lo nyuruh gue nyium Clay? Otak lo di mana sih? Gue gak mau!” Tiba-tiba saja suara Lio mengagetkanku dari lamunanku. Ia langsung beranjak pergi meninggalkan lokasi pemotretan.

Melihat Lio yang tiba-tiba marah seperti itu, aku langsung  berlari menuju ke arah Tara. “Tar, ada apa sih?” Tanyaku cepat.

“Gue cuma nyuru mas Lio buat pose nyium mbak Clay. Emang gue salah apa, mbak? Lah, ini kan foto pre-wedd dia, masa iya dia gak mau nyium pasangannya sendiri? Udah ah, gue cape. Dari tadi juga dia susah banget disuruh foto mesra sama mbak Clay. Gue nyerahlah, mbak.” Ucapnya sambil mengambil peralatan kameranya, “guys, kita cabut!” ucap Tara kemudian kepada timnya dan beranjak pergi.

“Tar, please jangan gegabah dulu. Please gue mohon, lo jangan ikut emosi karena perkataan Lio. Gue mohon, Tar. Jangan kaya gini.”Pintaku sambil mengikutinya dari samping.

Tara menghentikan langkahnya, ia tertunduk sebentar sebelum akhirnya ia menatapku dengan tatapan tajam, “okay. Gue akan tunggu selama setengah jam, kalau sampe mas Lio masih ngambek juga dan gak mau ngelanjutin sesi berikutnya, gue cabut.”

“Tara… makasih ya?” ucapku lega.

“Kalau aja ini bukan project yang dikerjain mbak Nadia, kalau aja karena mbak Nadia yang udah baik banget selalu ngasih job ke gue dan tim, gue gak akan mau lakuin ini, ” sambungnya kemudian. “Guys, kita break dulu setengah jam.” Tara mengkomando timnya lagi kemudian, dan kemudian melanjutkan langkahnya ke tenda peristirahatan.

Tak lama kemudian, dengan sedikit berlari aku mulai mengejar langkah pergi Lio. Kususuri pohon-pohon pinus dan dengan cepat memutuskan kemungkinan arah perginya Lio.

Lio, Kamu ke mana sih?

[bersambung]