“Apa? Ibu ditipu?” kataku pelan. Segera kutaruh buku harian ibu, dengan cepat tangan kananku melepaskan tas yang kulingkarkan dari tadi di tangan kiriku. Kutaruh tas itu di depanku, dan mulai merogoh ke dalam tas itu, mencari buku kecil berwarna biru milik ibu. Ketika kutemukan buku itu, segera kucari tanggal yang sama dengan buku harian ibu.

Mataku menyalang dengan bulatnya, ketika melihat saldo di tanggal 22 Juni 20013 itu, “apa? 26.700 rupiah? Lalu…” Kubalikkan lagi lembaran di buku itu hingga ke saldo terakhir, “tapi ini…? kenapa bisa sampai sebanyak ini jadinya?”

Kepalaku dipenuhi dengan banyak asumsi dan tanda tanya. Aneh rasanya jika ibu bisa memiliki uang sebanyak ini dalam waktu kurang lebih empat bulan, hanya dengan mengandalkan uang pensiunannya saja. Tidak-tidak. Ada yang ganjil di sini, desisku dalam hati. Kuputuskan untuk meneruskan membaca buku harian ibu, berharap menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalaku.

 

29 September 2013

Sudah seharusnya kubuang egoku untuk menerima pertolongan orang lain. Bersyukurnya aku memiliki adik seperti Anne. Dengan kedatangannya sore tadi, membuka harapan untuk Sachi dapat melihat lagi. Anne membawa kabar bahagia, ia bilang, Bank Mata Indonesia sudah memiliki lagi donor mata dari Indonesia, jadi aku tak perlu mencari puluhan juta rupiah untuk sepasang kornea.

Sachi, nak… Akhirnya, doa ibu dikabulkan juga olehNya. Bersabarlah, Nak.

Besok atau lusa, ibu akan datang ke sana untuk mengurus segala keperluanmu. Bersabarlah. Kau tahu, ibu akan lakukan apa saja untuk membahagiakanmu.

 

30 September 2013

Hari yang buruk. Hari ini, harusnya jadi hari yang membahagiakan baik untuk Sachi, ataupun untukku. Kami bertengkar hebat tadi pagi, ia bahkan tak mau memakan sedikitpun kue ulang tahun yang kubuatkan. Ya, Tuhan… Sakit sekali hatiku mendengar apa yang diucapkan Sachi tadi pagi. Deva memang bukan laki-laki yang baik. Dia tidak pantas untuk dicintai Sachi. Kalau dia memang sepantas itu, Deva tidak akan meninggalkan Sachi ketika matanya buta.

Iya, nak. Ibu tahu, ibu yang salah atas semua ini. Ibu yang salah atas kebutaanmu. Tapi percayalah, nak. Ibu sudah berusaha untuk mencari uang untuk membeli sepasang kornea, ibu juga sudah berusaha untuk mendapatkannya ke Bank Mata Indonesia. Iya… meskipun ibu kecewa, hanya satu kornea yang tersisa. Tapi, mereka janji untuk menyimpannya untuk matamu, dan ibu akan mencari uang dan cara agar sepasang matamu bisa lagi berguna.

 

1 Oktober 2013

Seperti halnya bahagia, duka pun hanya sementara. Tuhan akhirnya mengabulkan salah satu doaku. Selamat kembali pulang, nak. Entah apa yang membuatmu berubah hari ini, setelah setahun belakangan ini diam lebih banyak berbahasa, dan amarah lebih berkuasa di balik lidah. Aku… sangat bahagia melihatmu pulang.

Nak, tadi sore, Tante Anne menelpon ibu. Ia bilang ibu bisa mencari kornea untuk matamu di Srilangka, kalau ibu mau. Tapi entahlah, nak. Ibu tidak punya cukup uang untuk pergi ke sana. Tante Anne menawarkan untuk meminjamkan uangnya untuk pergi ke Srilangka dan untuk biaya operasi transplatasi kornea, tapi ibu masih belum menjawab apa-apa.

Ibu harus menjawab cepat, sebab kornea di Bank Mata Indonesia tak bisa disimpan terlalu lama.

Ibu bingung…

 

Kuseka mataku, dan membalikkan lagi lembaran di buku itu. Dahiku berkerut, “Loh? Kok kosong?” Kucoba membalikan lagi beberapa halaman setelahnya, namun tetap saja aku tak menemukan tulisan ibu yang lainnya. Kututup buku itu, dan kupeluk tepat di depan dadaku. Napasku terasa berat sekali, seperti tertahan oleh gemuruh yang masih gemar menari di dalam dadaku. Ruangan itu semakin gelap, malam sepertinya sudah bersiap-siap jatuh di peraduan. Kutaruh buku itu ke dalam tasku, melingkarkan tas itu di tangan kiriku, dan memutuskan untuk beranjak berdiri dan pergi dari rumah ini.

Mataku tertahan, ketika melihat lemari ibu yang terbuka di daun pintunya. Aneh, tak ada satu pun baju ibu yang tertinggal di lemari itu. Apa ada maling yang mengambil semua baju ibu? Tapi untuk apa? Oh, iya. Mungkin tante Anne sudah memindahkannya, bersama semua baju-bajuku ke rumah baruku itu, pikirku.

Segera saja aku beranjak pergi dari kamar itu, dari rumah itu. Aku harus menemui tante Anne; aku harus menemukan jawaban atas semua ini. Tante Anne harus punya alasan yang masuk akal; untuk rumah baru berasal, dan saldo akhir ibu yang terasa begitu berlebihan.

**

 

Kuberanikan untuk menekan tombol bell  di samping pintu rumah itu. Tak lama kemudian, seorang anak kecil dengan pipi penuh yang merona merah menyapaku dari balik pintu. “Kak Caci!” Seketika saja tubuh mungil milik Lita sudah memeluk pahaku. Suara lita yang cadel serta tubuhnya yang gempal, benar-benar menggemaskan.

“Halo, sayang. Mama ada?”

“Ada, di kamal. Ita pangiyin duyu ya?”

“Eh, gak usah. Kakak langsung ke sana aja.”

Lita hanya mengangguk dan tersenyum, dan menyuruhku masuk.

“Litaaaaa! Itu siapa, sayang? Kesini sebentar, nak.” Suara seorang perempuan memanggilnya dari arah belakang rumah.

Suara yang ku…

Kakiku mengikuti langkah Lita yang setengah berlari menuju ke halaman belakang. Aku hanya ingin memastikan, kalau telingaku memang benar salah. Betapa kagetnya aku, ketika melihat seorang perempuan separuh baya terjatuh dari atas kursi roda, di halaman belakang. Tak lama kemudian dibantu berdiri oleh Lita.

“Ibu?” kataku setengah berbisik.

“Sachi?” Tiba-tiba saja, suara tante Anne mengagetkanku dari arah belakang.

“Tante… I-Ini ada a-apa?” Kataku dengan terbata-bata.

Kepala tante Anne langsung tertunduk, dapat kulihat kegelisahan mulai meraja di wajahnya, ketika bibirnya mulai digigit seperti biasa. Tante Anne langsung menarik ke tanganku, dan menyuruhku untuk masuk ke satu ruang yang tak jauh dari sana.Tante Anne langsung menutup pintu itu, ketika kami berdua sudah berada di dalam.

“Tante! Maksud tante apa sih? Hah?” Kataku setengah berteriak di depan wajahnya.

Wajah tante Anne tertunduk, dengan tangan yang diremas-remasnya sendiri. “Tante… Ta-Tante…”

“Sachi udah curiga ada yang ganjil dengan semua ini. Kenapa sih, Sachi harus dibohongin kaya gini? Kenapa tante???” Dahiku mengkerut ke arah tengah, “kenapa harus pake skenario ibu udah meninggal, segala bilang dingabenin segala lah. Kenapa sih? Emangnya Sachi gak boleh nemuin ibu lagi? Iya? Ibu pasti benci sama Sachi ya? Jawab tante!” Kataku dengan sedikit meronta kesal, tanganku kemudian merogoh isi dalam tasku dan mengeluarkan buku kecil berwarna biru, “dan ini? Ini apa tante? Kenapa ibu bisa punya duit sebanyak ini? Dari mana ibu bisa beli rumah baru kaya gitu?” Air mataku akhirnya jatuh juga, “a-apa jangan-jangan… Ibu sampai menjual diri untuk semua ini? Sampe ibu malu buat nemuin Sachi?”

“Jaga bicaramu! Asal kamu tahu ya, semua yang kami lakukan ini demi kebaikan kamu. Ibumu itu sayang sekali sama kamu, Sachi. Dia rela melakukan apa saja demi kamu, demi kamu bisa melihat lagi, demi kamu bisa kuliah lagi. Jangan bicara yang tidak-tidak tentang ibu kamu!”

“Terus ini dari mana, tante??? Jawab!” Kataku sambil mengoyang-goyangkan bahunya. “Kenapa sih, Sachi harus dibohongin kaya gini?”

“Sachi! Kamu harus tenangin dulu diri kamu!” Tante Anne membuang napasnya dengan cepat, kemudian menarikku untuk duduk di atas kasur di dalam ruangan itu, sedang ia berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman belakang itu. “Kamu ingat, sehari sebelum ulang tahun kamu?”

Aku menoleh ke arah Tante Anne, dan mengangguk. “Iya, Sachi ingat.” Kuatur napasku yang masih terisak, dan mencoba tenang untuk mendengarkan penjelasan tante Anne. Kepalaku tertunduk kembali.

“Waktu itu, tante dengar kabar kalau Bank Mata Indonesia sudah punya donor dari Indonesia. Memang tidak dikenakan biaya untuk kornea yang akan didonorkan, tapi tetap saja membutuhkan biaya untuk operasi transplatasinya. Tante sudah bilang, ibumu bisa memakai uang tabungan tante dulu, kalau saja ia mau. Tapi ibumu… “Tante Anne menarik napasnya dalam, dan menghembuskannya perlahan. “Kau tahu persis, keras kepalanya ibumu itu kan? Waktu yang ia gunakan untuk menimbang, terlalu lama, hingga akhirnya kornea itu harus diserahkan sama orang yang lebih memerlukannya cepat dan yang siap dengan biaya operasinya, tentu saja.”

Aku menoleh ke arah tante Anne, “lalu? Bagaimana caranya ibu dapat kedua kornea mataku ini?”

“Tante dapat kabar, kalau di Srilangka tidak pernah kehabisan stok untuk donor mata. Masyarakat di sana, yang mayoritas beragama Budha, memiliki tradisi untuk mendonorkan mata mereka ketika meninggal dunia. Makanya, tante nyuruh ibu kamu untuk langsung terbang ke sana, dan mencarinya langsung. Soalnya, kalau menunggu BMI, akan semakin lama. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk sepasang mata, bisa jutaan rupiah. Biayanya lebih kecil, kalau kita cari langsung ke sana.” Tante Anne seketika terkekeh, “lagi-lagi, tante sudah nawarin buat biaya berangkat ke sana, tapi lagi-lagi ibumu keras kepala. Awalnya ibumu menolak, kemudian tante mengingatkan lagi, kenapa dia harus menerima tawaran tante ini.” Tante Anne menoleh ke arahku, “ibu kamu rela menurunkan egonya, karena perasaannya yang terlalu mencintaimu, nak.”

Tante Anne melipat kedua tangannya di depan dadanya, dan menyenderkan badannya di ambang jendela itu. “Di Srilangka, ibumu sebenernya sudah berhasil mendapatkan sepasang mata. Ibumu kembali ke Indonesia, dan langsung menyimpannya di Bank Mata Indonesia, untuk transplatasi kedua matamu. Sampai akhirnya,” suara tante Anne tertahan seketika. Cukup lama ia menahan kata-kata di balik lidahnya, dengan wajah yang kembali dijatuhkannya ke bawah.

Aku beranjak berdiri dan mendekati tante Anne, dapat kulihat tante Anne seperti menahan isak dalam diamnya. “Sampai akhirnya apa, tante?” Desakku.

Tante Anne mengangkat wajahnya, kedua matanya telah basah oleh air mata. “Sampai akhirnya, ketika ibumu hendak pergi dari BMI, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sepertinya seorang pejabat atau entahlah, yang duduk di kursi lorong depan BMI itu. Laki-laki itu menawarkan sejumlah uang dan sebuah rumah, kalau ibumu mau menjual mata yang dibawanya dari Srilangka untuknya.”

“A-Apa?” Badanku rasanya lumpuh sekali, akhirnya kuputuskan untuk berpegangan di ambang jendela tersebut. Di luar jendela itu, bisa kulihat ibu yang duduk termangu di atas kursi rodanya. Tatapannya kosong, menghadap langit yang sudah dielimuti malam. Serupa aku, sewaktu masih buta dulu.

“Putri laki-laki itu mengalami kecelakaan, hingga kehilangan penglihatannya. Tepat beberapa jam, sebelum kedatangan ibumu ke BMI. Awalnya ibumu menolak, dan menyuruh laki-laki itu untuk mencarinya ke Srilangka langsung, toh ia juga punya uang yang banyak. Tapi laki-laki itu bersikeras untuk mendapatkan secepatnya, putrinya selalu mengancam ingin bunuh diri karena kebutaan yang dialaminya. Ibumu tadinya ragu, ia sempat menelpon tante sebelum memutuskan apa-apa. Tante sudah melarangnya, tapi ternyata ia punya keputusannya sendiri. Mengingat bahwa ia juga memiliki putri yang buta seperti laki-laki itu, ia pun sadar kalau ia sudah berhutang terlalu banyak sama tante, makanya ibumu meng-iya-kan keinginan laki-laki itu.”

“Lalu, dari mana ibu dapat sepasang kornea yang ada di mataku ini, kalau ibu menjualnya?”

“Ibumu mengajukan syarat sama laki-laki itu. Dia boleh menggunakan mata yang didapatkannya di Srilangka, kalau laki-laki itu menyediakan operasi untuk… Errrgh!” Tante Anne setengah menjerit dalam isak, dan memukul-mukulkan dadanya, “untuk pengangkatan kedua kornea miliknya. Kedua kornea yang ada di matamu adalah milik ibumu, nak. Milik perempuan yang selalu kamu benci setahun belakangan ini.”

“A-Apa? Ti-Tidak mungkin. Bukannya gak boleh mendonorkan mata, kalau masih dalam keadaan hidup atau belum jelas, kapan akan meninggalnya?“ Sangkalku, dadaku bergemuruh semakin hebat.

“Laki-laki itu melakukan operasi rahasia dengan dokter dan medis yang dibayarnya sendiri. Operasi itu dilakukan hari itu juga. Kemudian langsung disimpannya, untuk operasi transplatasimu. Kami sengaja membuat skenario kalau ibumu sudah meninggal, karena kami tahu, kamu pasti akan malu punya ibu yang buta. Lagipula, ibumu hanya ingin kamu bahagia dengan pilihan hidupmu sendiri. Dengan atau tanpa dirinya.”

“Aku gak mungkin membenci ibu hanya karena ibu buta. Gak akan pernah, tante!” Tangisku semakin menjadi-jadi.

Tante Anne menundukkan wajahnya lagi, dan terlarut dalam kesedihannya sendiri. “Pergunakanlah kornea ibumu untuk hal-hal yang baik, nak. Jangan kecewakan ibumu lagi dengan membutakan diri, meski kedua matamu masih berfungsi. Saat kamu selalu mencari celah untuk terlepas, saat itu juga ibumu memberimu kasih yang tak mengenal batas.”

“Jadi, ini… ini benar kornea milik ibu?” Tante Anne hanya mengangguk dalam isaknya. Tangisanku semakin mengeras dengan setengah menjerit, kujambak rambutku sendiri, dan memukul-mukul kepalaku sendiri. Bodoh kamu, Sachi! Bodoh…

Aku langsung teringat pertengakaran dengan ibu, ketika di hari ulang tahunku.

 

“Tutup mulutmu! Kalau ibu bisa nukar nyawa ibu buat bikin ayah hidup lagi, ibu pasti lakuin itu. Kalau ibu bisa nukar mata ibu agar kamu bisa melihat lagi, ibu pasti rela!”

“Oh ya? ya udah, donorin aja mata ibu buat Sachi. Katanya rela?”

“Ka-mu… kamu gak pernah tahu sesayang apa ibu sama kamu, nak. Karena kamu gak pernah ngebiarin diri kamu untuk menerima ibu… I-Ibu, ibu selalu coba untuk menebus kesalahan ibu, ibu juga selalu meminta maaf. Tapi apa? Apa? Kamu selalu menolak kehadiran ibu, kamu selalu menepis pelukan ibu, dan semua… semua selalu terasa sia-sia rasanya…” Saat itu ibu akhirnya menangis, “Ibu sayang sama kamu, nak. Maafin ibu…”

 

Aku tak pernah menyangka, kata-kata di dalam amarah mampu berubah menjadi doa. Doa terburuk yang mungkin pernah kuucapkan. Tuhan, maafin Sachi. Sachi sudah begitu durhakanya sama ibu, pintaku dalam hati. Mataku  menangkap bayang ibu di sela gerimis, di kedua kornea milik ibuku, ibu…

Segera saja kuberanjak pergi menuju ibu di halaman belakang rumah itu, “Ibuuuuuuu!” Jeritku setengah berteriak.

Ibu menoleh ke arah suaraku, “Sachi?”

Lututku langsung mencium paving yang menjadi alas halaman belakang rumah itu, kemudian tangank langsung memeluk pinggang ibu. “Ibuuuuuuu, maafin Sachi. Maafin, Sachi…” Kataku dengan terisak.

Ibu langsung membalas pelukanku dengan erat, diciumnya keningku dengan berlinang air mata. “Ibu kangen sama kamu, nak. Kamu gak marah sama ibu, kan? Kamu gak benci sama ibu, kan?”

“Enggaaaak, bu. Enggaaaak. Sachi sayang sama ibu, maafin Sachi bu. Sachi mohon.”

“Jauh, sebelum hari ini tiba, salahmu sudah ibu lunturkan dengan doa, sayang. Terima kasih untuk tetap pulang.” Ibu memelukku semakin erat.

Darimu, aku belajar banyak; memilin sabar untuk setiap luka, menaruh sabar untuk setiap doa, dan mengikat percaya untuk setiap langkah. Katakan padaku, bu. Bagaimana caranya aku membenci perempuan hebat sepertimu, bu? Katakan.

Aku kembali pulang ke dadanya yang rumah. Terima kasih, ibu.

Untuk segalanya.

 

 

 

[Selesai]